Rabu, 25 November 2009

Merdeka di Bawah Ancaman Gempa


Laporan, Iwan-Padang Ekspres

Detik-detik proklamasi 17 Agustus 2009, Bumi Sikerei (Mentawai) memperingati hari bersejarah itu di bawah ancaman gempa sepanjang malam. Gempa terakhir mengguncang Mentawai sekitar pukul 05.15 Wib, Senin (17/8). Gempa terakhir ternyata tidak membangunkan warga Mentawai dari tidurnya. Mungkin terlalu lelah karena sepanjang malam siap-siaga dari ancaman gempa yang dikhawatirkan berpotensi tsunami.

Mentawai, Padek-Menjelang pagi, bendera Merah Putih itu sudah lengkap berkibar di ujung tiang di setiap depan rumah masyarakat Mentawai. Kibaran kain pusaka itu mengubah suasana dan warna kehidupan masyarakat Mentawai meskipun setiap tahunnya diperingati. Sepanjang jalan menuju kantor Bupati Kepulauan Mentawai, dibeberapa rumah masyarakat terdengar suara radio dengan lagu kebangsaan.

Ternyata lagu kebangsaan tersebut sengaja diputar oleh pihak pengelola radio untuk membangkitkan warga Mentawai dari rasa takut dan duka akibat dilanda gempa. Sebab hari ini bukan duka untuk gempa, melainkan karena mengenang jasa para pahlawan Indonesia yang berhasil meraih kemerdekaan dan menyatukan ratusan suku di Bumi Pertiwi ini.

“Ini hari kemerdekaan, jadi tidak boleh sedih karena digoncang gempa. Sedih boleh, tapi untuk para pahlawan. Makanya kita putar pagi-pagi ini dengan berbagai lagu nasional agar masyarakat Mentawai tidak larut sedih dan takut dengan gempa,” kata Koordinator Manajemen Programer Radio Sasaraina milik Pemda Mentawai, Rahadio Suroso kepada Padang Ekspres di redaksinya.

Sekitar pukul 07.00 Wib, para PNS dan siswa mulai lalu-lalang menuju halaman kantor Bupati Mentawai untuk mengikuti upacara dengan siraman hujan gerimis. Sebagian peserta upacara bajunya basah kuyup dan kedinginan. Namun mereka masih bertekad untuk berdiri tegak di bawah tiang bendera mengikuti hari kemerdekaan Indonesia.

Cuaca terlihat berawan, peserta pun tidak ada yang meninggalkan lapangan upacara ketika menunggu kedatangan Bupati dan rombongan Muspida. Peserta upacara tetap betah berdiri tegak karena cuaca dingin tanpa ada sengatan matahari. Tepat pukul 10.00 Wib naskah kuno dan bersejarah yang ditulis Sayuti Malik dibacakan oleh Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kortanius Sabaleakke. Acara demi acara pun selesai hingga diakhiri dengan foto bersama di halaman kantor bupati.

Bupati dan rombongan Muspida Mentawai menuju ke Pendopo untuk menjalin silaturahmi sekaligus makan siang bersama. Beberapa pejabat pun menyumbangkan lagu, baik bersyairkan perjuangan sampai percintaan remaja.

Ketika acara makan siang bersama selesai, salah seorang staf dijajaran Badan Penangulangan Bencana Mentawai menghadap Wakil Bupati, Yudas Sabaggalet untuk memberikan informasi terkait gempa yang mengguncang Mentawai. Ternyata kabar pascagempa tersebut mengejutkan seluruh unsur Muspida.

“Pak, saya baru saja terima SMS dari Kecamatan Siberut Selatan adanya beberapa bangunan yang roboh akibat digoncang gempa. Kemudian pada tengah malam warga Siberut Selatan baru turun bukit karena mengungsi,” katanya memberikan informasi.

Ternyata, pascagempa di Mentawai yang berpusat di Pulau Siberut sempat merobohkan Lantai dua SMAN I Siberut Selatan. Kemudian satu rumah ibadah gereja juga roboh dan satu mushola kubanya jatuh. Selain itu ada puluhan rumah warga Siberut Selatan mengalami retak dan rusak sedang.

Bupati Mentawai, Edison Saleleubaja spontanitas menugaskan beberapa pejabatnya segera turun ke lapangan untuk melakukan peninjauan terhadap sejumlah bangunan yang rusak di Siberut Selatan. Sebab pihak pemerintah daerah sendiri belum mendapatkan data yang akurat terhadap dampak kerusakan akibat goncangan gempa.

“Besok (Selasa (18/8-red), pejabat yang bersangkutan segera turun ke lapangan untuk meninjau kerusakan bangunan. Sebab kita sampai saat ini belum mendapatkan kepastian data. Kita harus jemput bola, jangan menunggu laporan dari kecamatan baru meninjau,” tegas Edison.

Wakil Bupati Kepualaun Mentawai Yudas Sabaggalet kepada Padang Ekspres memaknai, gempa yang baru mengguncang Mentawai sebagai renungan alam yang harus dikaji pada hari kemerdekaan. Artinya masyarakat Mentawai diuji mental dan jiwa untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme dalam keadaan duka. Sebab biasanya kabar duka bagi seorang pahlawan harus disimbolkan bendera setengah tiang.

“Seharusnya saat ini kita mengibarkan bendera setengah tiang karena suasana duka akibat digoncang gempa. Ternyata kita pada detik-detik proklamasi masih bisa mengibarkan bendera satu tiang meski dalam suasana duka gempa. Ini bukti, bahawa kita orang Mentawai tidak lemah dan cengeng ketika mendapat musibah. Justru tetap bersemangat mengibarkan merah putih di bawah puing-puing reruntuhan,” jelas Yudas dengan bahasa filosofi.

Yudas mengimbau kepada masyarakat, Mentawai harus bangkit dengan segudang prestasi meski kondisi masih serba terbatas dan kekurangan. Setiap pembangunan dan kebangkitan itu meski banyak risiko, hambatan dan pengorbanan.

“Semua harus kita abdikan dan korbankan untuk bangsa Indonesia, terutama Kabupaten Kepualauan Mentawai yang kini sedang membangun. Kita harus bangkit dengan berbagai kondisi yang terbatas dan kekurangan. Semua itu pasti bisa kita lewati dengan jiwa pengabdian yang tulus dan berkorban,” optimis Yudas memberikan semangat perjuangan membangun Mentawai. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar